Indonesia Pusaka by Ismail Marzuki, aransemen SATB by N. Simanungkalit.
Senin, 8 Januari 2007. Saya menelepon Bapak NORTIER SIMANUNGKALIT yang tinggal di Jalan Cipete VII/86 A Jakarta Selatan. Saya perkenalkan diri, cerita sedikit tentang buku partitur paduan suara karyanya yang baru saja saya beli di Toko Buku Gramedia Jalan Basuki Rahmat Surabaya.
Juru Tulis: Lambertus L. Hurek
“Bapak sudah 79 tahun, apa masih berkarya? Lagi bikin karya apa? Aransemen lagu paduan suara untuk siapa?” pancing saya.
“Jelas, saya terus berkarya. Selama Tuhan masih kasih saya hidup, saya akan terus berkarya,” jawab N Simanungkalit, antusias. Suaranya serak-serak, penuh semangat, apalagi tahu kalau saya bekas aktivis paduan suara di kampus, gereja, pernah melatih kor anak-anak dan mahasiswa di Jember.
"Saya ingin menulis sedikit tentang Anda. Jadi, saya mau memutakhirkan data yang saya baca di buku Anda,” kata saya.
“Oh, terima kasih, berarti Anda sudah membeli buku saya.”
“Oh jelas, saya terkenang dengan lagu PERALIHAN. Mengingatkan saya saat masih menjadi aktivis paduan suara mahasiswa di Universitas Jember dulu.”
“Buku itu ada enam lagu. Lagu-lagu lain akan menyusul di buku terbitan berikutnya,” kata N Simanungkalit, idola saya di bidang paduan suara. “Oke, Pak. Saya tunggu buku Anda. Saya akan beli dan pelajari.”
“Terima kasih. Kalau bisa beri tahu juga kelompok-kelompok paduan suara lain di Surabaya. Kalau belinya banyak, dapat rabat 10 persen,” pinta komponis kelahiran Tarutung, Sumatera Utara, itu.
Para aktivis paduan suara di Indonesia, saya pastikan, mengenal betul nama NORTIER SIMANUNGKALIT. Dia komponis besar. Hingga akhir 2006, dia mengaku sudah bikin 300 lagu, sebagian besar diiringi piano dan orkestra. Sebagai BAPAK PADUAN SUARA, Nortier Simanungkalit telah membuat 500 aransemen lagu paduan suara dengan iringan piano. Jumlah ini tentu terus bertambah karena N Simanungkalit terus berkarya.
Pada 1980-an, dia bikin musik Senam Pagi Indonesia, Senam Kesegaran Jasmani. Kemudian bikin mars serta himne dari sejumlah instansi pemerintah, swasta, kampus, hingga partai politik. Himne Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dibuat ayah tiga anak perempuan (MEIRINA, ELDIRA ROSELITA, ILMITA HERRIATI) dari istrinya SUGIARTI yang berasal dari Solo itu.
Mars Pemilihan Umum 1999 dan 2004 pun dibuat oleh pengubah Simfoni Gondang Batak itu. “Mars adalah induk seluruh lagu,” ujar ‘sang raja mars dari Tarutung’ itu.
Mengutip majalah GATRA:
“Karya cipta Simanungkalit tersebar sampai ke Negeri Paman Sam. Lewat Duta Besar Amerika Serikat di Jakarta, Palang Merah Amerika memesan sebuah himne dari dia pada 1999. Sebulan penuh dihabiskan Simanungkalit sebelum mendapatkan komposisi yang pas. Untuk keberhasilannya, ia mendapat medali jenis Special Recognition dari Palang Merah Amerika.
Itu bukan pengalaman pertamanya dengan negeri Paman Sam. Pada 1972, Simanungkalit pernah bersantap siang dengan Presiden RICHARD NIXON. Ia berada di Amerika Serikat dalam rangka menjadi juri Festival Paduan Suara Mahasiswa Internasional. Kiprah dosen kor Akademi Musik Indonesia Yogyakarta (1964-1966) itu di pentas internasional tak sebatas menjadi juri. Selama periode 1968-1981, ia menjadi anggota International Music Council UNESCO.”
Kepada saya, N Simanungkalit mengatakan, enam lagu yang diterbitkan PT Gramedia, Jakarta, tergolong lagu-lagu kelas berat. Bukan untuk paduan suara pemula. Enam lagu itu: LAGU UNTUK ASIA AFRIKA, PERALIHAN, MAJUKANLAH BANGSAMU, SURAT-SURAT PAULUS, SUARA YANG BERSERU-SERU, DOA DAN PUJI. Kenapa ‘kelas berat’? Tak lain karena komposisi itu sengaja disusun sebagai lagu wajib festival paduan suara mahasiswa atau gereja tingkat nasional.
“Tapi saya akan terbitkan buku untuk komposisi paduan suara yang lebih sederhana. Agar bisa dipakai oleh masyarakat luas,” tutur pria yang selama 26 tahun menjadi penasihat Paduan Suara Mahasiswa ITB itu.
Kendati dikenal sebagai komponis hebat, ‘raja mars dan himne’, N Simanungkalit mengaku mempelajari musik secara otodidak. Tak punya latar belakang akademik. Latar belakang otodidak ini akhirnya memengaruhi cara dia menyusun komposisi.
“Karena saya tidak pernah menempuh pendidikan masuk formal, saya harus menguatkan ungkapan perasaan musikal saya melalui imajinasi. Saya seolah-olah mendengar alunan lagu pada saat saya mengarang sebuah lagu. Komposisi nada, irama, harmoni, dan suara penyanyinya – solo atau kor – terbayang dalam benak saya. Inspirasi itu lalu segera saya tulis pada secarik kertas, yang kemudian saya sempurnakan agar dapat dibaca dan dimainkan oleh orang lain.”
Simanungkalit melanjutkan:
“Setelah lagu itu lengkap, saya menyodorkannya kepada seorang pianis untuk memainkannya. Sang pianis ternyata dapat memainkan lagu itu persis seperti yang saya bayangkan sebelumnya, yaitu sewaktu saya memperoleh inspirasi lagu itu. Ciptaan baru yang telah saya tulis dengan rapi kemedian saya serahkan kepada pihak yang membutuhkan atau memesan lagu tersebut.”
Di akhir percakapan, saya bertanya mengapa dalam beberapa tahun terakhir, paduan suara terasa kurang berkembang di kampus dan sekolah-sekolah, bahkan gereja. Diam sejenak, N Simanungkalit menyebutkan bahwa ini tidak lepas dari pesatnya musik komersial yang melanda Tanah Air.
"Saya lihat anak-anak muda sekarang cenderung ke dangdut. Maka, jadinya seperti engkau lihat sekarang ini. situasinya sangat buruk,” kata Simanungkalit.
Bagi pria yang pernah dipercaya menjadi ketua dewan juri Bintang Radio dan Televisi pada 1967-1989 itu, musik yang baik harus memenuhi empat unsur: melodi, harmoni, ritme, timbre. Nah, Simanungkalit mengaku selalu mempertimbangkan empat elemen ini setiap kali menyusun komposisi paduan suaranya.
“Di zaman Raja Daud sudah ada timbre yang diperlihatkan dengan adanya berbagai alat musik seperti serunai, seruling, dan harpa.”
Khusus paduan suara atau musik klasik, kata Simanungkalit, keseimbangan di antara keempat unsur itu sangat jelas. Ada pembagian suara sopran, alto, tenor, bas. Irama atau ritme dan melodi jelas ada, harmoni terdapat di antara empat jenis suara itu.
“Musik-musik rock, hard rock, metal... yang hanya mementingkan unsur ritme saja adalah RACUN. Melodi nggak ada, jadi tidak ada yang mengalir. Timbre juga tidak ada: hanya keyboard dan gitar. Warna string nggak ada. Mendengar musik semacam ini sama dengan mengonsumsi vitamin. Kalau hanya makan vitamin E saja dan kebanyakan, ia menjadi racun,” kata N Simanungkalit seperti dikutip KOMPAS edisi 22 Agustus 1999.
Saya sebetulnya masih ingin bicara lebih banyak lagi bersama Nortier Simangkalit tentang paduan suara, musik klasik, serta quantum learning – bidang yang juga digelutinya. Namun, sayang sekali, pulsa di telepon seluler saya ternyata tidak cukup.
“Anda kalau bisa cari orang yang mengerti bahasa Prancis untuk membantu menerjemahkan lirik ‘Lagu untuk Asia Afrika’,” pinta N Simangkalit saat saya menyatakan terima kasih dan pamit.
Tentu saja, tidak sulit menemukan orang yang bisa berbahasa Prancis di Surabaya. Namun, yang paham kalimat musik lagu, tekanan musik, sebagaimana disyaratkan Simanungkalit, jelas tidak mudah.
BACA JUGA
Teknik vokal menurut N. Simanungkalit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar